Kamis, 22 Oktober 2015

Ketika Engkau Telah Dewasa



Ketika engkau telah dewasa, 
tuk sekedar mengusap rambut ijukmu itu saja aku malu. 
Dulu telah berlalu. 

Hanya sungkan yang mendaratkan jari ini menyentuh pundakmu. 
Aku geram ketika pertemuanku denganmu hanya berupa pandangan yang dalam. 
Berusaha menyelam, menerobos tebing-tebing sorot mata berhias kedewasaan. 

Teramat lemah diriku. 
Namun, ku tak lanjut menyerah. 
Aku adalah bagian dari aliran darahmu, begitu yakin aku pun mengenalmu. 
Kini, tak cukup hanya sederet detik untuk begitu faham menghadapmu. 
Butuh beberapa rentang waktu di antara keberpisahan kita.

Ketika engkau telah dewasa.
Akankah aku lupa kau yang manja?

Jumat, 22 Mei 2015

Pantaskah Mengajar?

Mungkin karena hati ini yang terlalu compang-camping. Allah membiarkan hati tertampar dan harus terbelalak.

Microteaching usai, sudah pantaskah mengajar?

Sabtu, 16 Mei 2015

BERPERAN


Sejauh mana udara menghargai angin? 
Sejau mana siang menghargai malam?
Sejau mana langit menghargai bumi?

Selisihnya dekat ataukah jauh, kita ini bersaudara. Dicipta untuk saling memberikan tempat berharga. Berbagi kesempatan saling hidup sejahtera.

Allah itu mencipta kita sesama makhluk untuk sumbang peran. Layaknya simbiosis, memang ada yang merasa rugi keduanya, ada yang saling untung, dan ada pula yang bertepuk sebelah tangan. Memang ada fase yang tidak selamanya seperti pinta kita. Namun, bukankah potensi mencerna segala kisah itu ada. Akankah selamanya kita memicu kerugian untuk sesama?

Saat kita penuh dengan kemampuan memberi, biarkan sekitar kita merasa. Merasakan udara segar disaat tekanan kalor panas berada dalam puncaknya. Meski sedikit aliran dingin yang disalurkan. Hal ini akan memantik kelembaban yang berujung homeostatis, nantinya menghidupkan batas imbang kehidupan.

Peran itu tak harus menunggu jabatan menjadi seorang Menteri diemban. Haruskah menunggu tahta-tahta raja dianugerahkan? Mungkin saja kita harus menarik bantal untuk membangun mimpi sejenak jika fikir kita sependek itu. Namun jika saat ini mulai berperan, kenapa tidak? Kepercayaan pada diri itu perlu juga terbangun. Memberi pesan bahwa setiap kita pasti memiliki peran. Setiap kita berhak memberi perubahan.


Bunga, Tetaplah Berbeda...

Memang umumnya bunga itu cantik. Menawan dan anggun. Tapi bunga yang satu ini tak serupa dengan yang lain. Ketika jenis bunga lain tampak cantik untuk ditarik kawanan serangga, yang menghisap cairan manis dari tubuhnya. Bunga yang satu ini seperti enggan untuk dicicipi banyak serangga. Dia tak ingin serangga komunal hadir memburunya. Tak ingin mereka berduyun-duyun datang di setiap musim. Menolak mereka singgah. Kemudian dikatakan manis atau cantik parasmu! Bunga sederhana ini memilih berlalu.

Bunga tak sewajarnya ini bak bersembunyi dari pencitraan umumnya bunga. Dia berbeda. Bukan berarti cairan tubuhnya masam atau pahit. Tapi jika dianggap sudah begitu manis, belumlah pantas. Bukan juga tidak berhias mahkota yang nan enak dipandang. Hanya dia mencari sandang sederhana yang akan mempercantiknya. si Bunga ini seperti berselimut. Hanya pemiliknya lah yang mungkin tau persembunyiannya. Menghalau segala prasangka. Menuju pemberian indah dari penciptanya.

Sesampainya masa berproses. Terkadang memang sendiri. Beradu menanti seekor serangga yang tak hanya melihat rupa. Menanti dalam ujung dimana saat madu-madu itu tepat dirasa manis yang nyata. Memang menanti itu butuh waktu, melawan nada bioritme yang berulang. Sendirian bersama penciptanya begitu didamba saat ini. Memantaskan diri, memantaskan bunga yang sekarang masih sederhana. Menanti serangga yang mengerti keunikannya yang berbeda, yang turut menjaga kehormatannya. Bunga, tetaplah berbeda...


Selasa, 12 Mei 2015

Benarkah "Sebenarnya Cinta"?

Meniti jalan panjang ini mungkin terasa lelah, mengganjal, dan terasa berat. Tak selamanya mata kita itu mampu mengartikan segalanya. Ketika, melangkah menuju dua pilihan, ''cinta sebenarnya'' atau ''sebenarnya cinta''? Terdengar sama pula. Berakhir pada keputusan  dua bejana, nafsu ataukah hati. 

''Cinta sebenarnya'' terkadang semu. Berkoar-koar cinta? Mencari corong suara tetapi ujungnya bukan kesejatian cinta. Ini tentang cinta yang tampak ada tapi hanya sebatas ucapan saja. Semisal, berikrar dan mengaku cinta kepada keberadaan Kholiq. Ehhhh, ketika panggilan cinta-Nya datang, adzan berkumandang masih saja berjibaku dengan rutinitas lain. Bilangnya cinta, tapi masih saja berorientasi dunia tanpa menghiraukan waktu yang seharusnya mendekat dengan yang dicintainya. Itukah namanya cinta? Hanya kata berselimut nafsu yang entahlah hati dipindah alihkan kemana.

''Sebenarnya cinta'', mungkin pengakuan tak muncul dari ucapan. Justru membekas jelas di dalam bejana hati. Tanpa perlu diakui, tanpa perlu diapresiasi oleh manusia. Tujuan akhir hanyalah Allah. Kehinaan dimata manusia mungkin tak jadi hambatan. Mencari kemuliaan dengan "sebenarnya cinta" akan tertuntun ke kebaikan. Mengakui bahwa kasih sayang Allah hadir dibalik semua kejadian. Mungkin bermula dari terasa berat dalam perjalanan hidup ini. Namun itulah bentuk kasih sayang Allah untuk menguatkan dirinya. Jika "sebenarnya cinta", bukan sebatas bualan belaka tapi sikap yang tergambar, begitu juga dengan pengakuan yang terpatri dalam hati. 

Maka, diskusikan dengan hati sejauh mana "cinta" itu ada?
Tak hanya dikuasai nafsu yang sering lupa.
Lupa menyadari janji yang terucap pada Sang Pencipta.
Beranikah melanggarnya?
Dan benarkah "sebenarnya cinta"?

*tulisan untuk menampar diri sendiri
(terinspirasi dari analogi Abi Syatori Abdurrauf dalam Tausiyah "Menata Hati dengan Cinta Jauh dari Kegalauan")



Sabtu, 09 Mei 2015

Nikmatnya Terpanggil di Jalan-Mu



Menua. Panstilah nyawa-nyawa kita merasapakannya. Semula rona muda bersinar, kini tua sudah menanti di ujung sana. Bertemu dengannya atau berucap salam dengannya kemudian pergi? Sampai tua kutemui dengus nafas kematian. Atau sesak semasa muda lalu mati? Hidup tak hanya memilih bahagia atau derita. Lebih dari itu. Beranilah menggenggam prinsip di setiap deretan usia. Memilih menua dan muda dengan ridha-Nya. Berjuang mati di jalan Allah, kenapa tidak?

Setiap kita adalah pembawa pesan kebaikan agama ini. Islam yang paling benar. Yang mengakui keesaan Tuhan. Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Memberikan bukti Kitab yang tak pernah dirubah dari mulai diwahyukan ke Rasulullah, Utusan Yang Agung. Sampai masa-masa 1400 tahun kemudian, masa dimana generasi ulama sudah bertambah banyak di penjuru bumi ini. Dan, pedoman yang suci itu tidak berubah. Tidak ada revisi, tidak ada editing. Kebenarannya pun mengabadi.

Ya muqallibal quluub, tsabit qalbii 'ala diinik. Wahai zat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu. Hingga menua atau  saat muda kami bertemu dengan kematian. Karena itu kami memenuhi penggilan, maka perindahlan cara kami kembali kepada-Mu. Permudah hembusan nafas kami saat Malaikat pencabut nyawa itu hadir. Izinkan kami menikmati nikmatnya khuznul khotimah, Rabbii. Meski penuh hina, kami mohon pengamunan dari Zat Yang Maha Tinggi.

Ya Allah, izinkan kami terpanggil (meninggal) dalam suasana nikmat memerjuangkan agama-Mu.

Saat Genangan [masih] Penuh Cela

Menggenang. Usai hujan membuat bumi basah. Aroma khas semerbak terhirup sebagai candu. Kumpulan tirta dari singgasana langit pun bersaksi. Menjadi dewasa itu sulitkah? Ketika panas datang, gerutu bibir yang mengindera sebuah rasa; "panas!" teriaknya. Ketika tetesan hujan ganti menyambut, mencela hujan pun tak risau. Seolah air yang salah. Siapa suruh menuntut siang tapi udara sedingin ketika hujan? Sungguh, orang dewasa terlalu membingungkan.

Genangan itu berkisah dengan narasi berbeda. Sontak ketika anak kecil mendatanginya, seolah penerimaan itu hadir. Semerbak membawa pesan bahwa dia menikmatinya. Bermain dengan riak-riaknya yang pelan. Membelai dengan tangan, menginjak dengan kaki halusnya. Senyuman lepas serasa mengalir di antara sela-sela kakinya. Genangan merasakan tenang.

Menjadi dewasa itu pasti. Tapi perlulah menjadi rumit? Sederhana itu perlu. Memandang dengan bahagia. Bahwa Tuhan mencipta kumulan nikmat itu untuk manusia. Bukan untuk dicela dan dihina. Sebelum kata dewasa itu basi karena kebutaan mata hati kita. Lihatlah cahaya dari genangan air seusai hujan. Dia bukti akan keberadaan-Nya. Masihkah mencela?
 

Saat genangan [masih] penuh cela, maka menjadi dewasa hanya sia-sia.